UU Konvensi Minamata Mengenai Merkuri Ditandatangi Presiden

Wed, 20 September 2017

SIARAN PERS
Nomor : SP. 258 /HUMAS/PP/HMS.3/09/2017


Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu, 20 September 2017. Undang-undang tentang Pengesahan Konvensi Minamata Mengenai Merkuri (Minamata Convention on Mercury) ditandatangani Presien RI Joko Widodo Selasa (19/09/2017). Sebelumnya rancangan UU tersebut telah disetujui DPR RI pada Sidang Paripurna minggu lalu (13/09/2017). Informasi tersebut disampaikan Tenaga Ahli Menteri LHK Bidang Evaluasi Kebijakan Kerjasama Luar Negeri, Arief Yuwono, dalam acara Ngobrol Pintar (Ngopi) di Gedung Manggala Wanabakti – Jakarta, Rabu (20/09/2017).

“Kami mendapatkan informasi dari Sekretariat Negara bahwa Undang-Undang Konvensi Minamata mengenai Merkuri telah ditandatangani Presiden tadi malam (19/09/2017), selanjutnya akan diundangkan Menteri Hukum dan HAM menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Konvensi Minamata Mengenai Merkuri”, ungkap Arief.

Arief Yuwono menegaskan urgensi UU Konvensi Minamata mengenai Merkuri adalah sebagai dasar hukum pengelolaan merkuri dan senyawa merkuri di wilayah NKRI, dan mengurangi/mencegah gangguan kesehatan akibat pajanan/paparan merkuri serta mengurangi beban dan kerugian negara dari kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Merkuri/raksa merupakan logam berat dapat berbentuk cair, gas dan partikel yang bersifat toksik, persisten, bioakumulasi dan dapat berpindah lintas batas wilayah administrasi bahkan batas negara. Merkuri mencemari air dan dapat terakumulasi pada mahluk hidup termasuk manusia dalam bentuk metilmerkuri.

Data internasional tahun 2010, tercatat emisi merkuri yang bersifat meracuni manusia sebanyak 37% bersumber dari penambangan emas skala kecil, 24% bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil, 18 % berasal dari produk-produk metal, sisanya antara 5 - 9 % berasal dari proses industri semen, insinerasi, dan lainnya.

Dalam kesempatan yang sama, Tuti Hendrawati Mintarsih, Tenaga Ahli Menteri LHK Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3, menjelaskan bahwa di Indonesia, Merkuri sebagian besar digunakan pada pertambangan emas skala kecil, yang diidentifikasi pada sejumlah 850 kawasan yang tersebar di 197 kota/kabupaten di 32 provinsi, dengan jumlah penambang lebih dari 250 ribu orang.

UU Merkuri berisi 35 pasal, dan 5 lampiran, yang memuat 4 (empat) bagian utama, yaitu:
1. Pengaturan operasional, memuat kewajiban mengurangi emisi dan lepasan Merkuri dan senyawa Merkuri antropogenik ke media lingkungan.
2. Dukungan bagi negara pihak dalam sumber pendanaan, peningkatan kapasitas, bantuan teknis dan alih teknologi, pelaksanaan dan komite pematuhan.
3. Informasi dan peningkatan kesadaran termasuk aksi mengurangi dampak merkuri.
4. Pengaturan administrasi lainnya.

Pada lampiran Undang-Undang dijelaskan tentang batasan penggunaan Merkuri, sebagai berikut:
1. Penghapusan penggunaan Merkuri pada Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK);
2. Dihapuskan bertahap sampai 2018 pada proses asetaldehid;
3. Dihapuskan bertahap sampai 2020 penggunaan Merkuri pada baterai, termometer dan tensimeter;
4. Dihapuskan bertahap hingga 2025 pada produksi klor-alkali; serta
5. Penggunaan Merkuri yang masih diperbolehkan dalam jumlah tertentu, untuk perlindungan sipil dan militer, penelitian, kalibrasi instrumen, standar referensi, switch dan relay, lampu fluoresen katoda dingin (CCFL), lampu fluoresen katoda eksternal (EEFL), perangkat pengukur, produk untuk praktik tradisional atau religius; dan vaksin yang mengandung thiomersal sebagai bahan pengawet.

Penanggung jawab berita:
Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Djati Witjaksono Hadi – 081375633330

Melayani hak anda untuk tahu