Fri, 17 November 2017
SIARAN PERS
Nomor : SP.355 /HUMAS/PP/HMS.3/11/2017
Bonn – Jerman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jum’at, 17 November 2017. Keberhasilan pemerintah Indonesia dalam menangani lahan gambutnya dalam kurun waktu dua tahun terakhir, menjadi perhatian banyak negara di dunia.
Hal ini tergambarkan dalam berbagai sesi yang dihadiri Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar, pada Konferensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) ke-23 di Bonn, Jerman. COP atau Conference of Parties menjadi forum bagi 195 negara dan 1 blok ekonomi (Uni Eropa), untuk saling bertemu dan mendiskusikan rencana kemanusiaan memerangi perubahan iklim.
Hingga Kamis (16/11) waktu setempat, Menteri Siti Nurbaya yang sudah beberapa hari berada di konferensi tersebut, secara marathon bertemu dengan berbagai delegasi dari banyak Negara, serta menjadi pembicara kunci pada berbagai pertemuan, termasuk pembahasan persoalan gambut secara global.
Indonesia mendapat perhatian, karena dinilai berhasil melakukan lompatan dan capaian 'tak biasa' dalam tata kelola gambut, di tengah ancaman perubahan iklim yang kian menantang dunia.
Salah satu indikator, jika sebelumnya Indonesia rutin mengalami kebakaran hutan dan lahan selama puluhan tahun yang mayoritas terjadi di lahan gambut, untuk tahun 2016 dan 2017, bencana serupa bisa ditanggulangi dengan baik.
''Kita buktikan bahwa Indonesia bukan negara yang ketinggalan (dalam tata kelola gambut). Banyak referensi yang diambil dari konfrensi ini. Dari Indonesia, dunia belajar tentang tata kelola gambut,'' kata Menteri Siti Nurbaya.
Banyak delegasi negara dunia juga mempelajari program Perhutanan Sosial, yang menjadi salah satu strategi pemerintahan Jokowi, untuk mengawal perubahan iklim.
''Dari Indonesia, dunia juga belajar bagaimana masyarakat lokal yang berada dalam kawasan hutan, diberi akses legal melalui Perhutanan Sosial, untuk ikut mengelola sekaligus menjaga hutan tetap lestari,'' kata Menteri Siti.
Indonesia memiliki lebih dari 26 juta ha lahan gambut, atau lebih dari 12% atau total lahan hutan. Selama ini gambut mudah sekali terbakar, dan merugikan Indonesia dengan kalkulasi hingga ratusan triliun rupiah. Pasca bencana Karhutla tahun 2015 yang menyasar mayoritas lahan gambut, pemerintahan Jokowi-JK melakukan berbagai gebrakan dari hulu hingga ke hilir.
Pemerintah mengeluarkan berbagai regulasi perlindungan gambut, penegakan hukum yang tegas, siaga darurat dan sistem terpadu penanganan Karhutla dari pusat hingga ke daerah, hingga keterlibatan aktif masyarakat.
''Saya ingin meyakinkan anda semua, bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan yang terbaik untuk mengelola karhutla, dengan serius menjaga gambutnya,'' tegas Menteri Siti.
Berbagai upaya dan kebijakan pemerintah, berhasil menurunkan jumlah titik api secara signifikan. Berdasarkan data satelit NOAA per tanggal 17 November 2017, jumlah titik api berkurang dari 21.929 (2015) menjadi 3.915 atau berkurang 82% di tahun 2016. Sementara di tahun 2017, titik api tercatat 2.546 atau berkurang hingga 91% dari 2015 sampai 2017.
Indikasi yang sama juga dapat terlihat dari pantauan satelit TERRA NASA. Dimana titik api berkurang hingga 95 persen dari tahun 2015 (70.971 titik api) ke tahun 2016 (3.844 titik api). Sedangkan pada tahun 2017 dibandingkan tahun 2015, berkurang hingga 98 persen (2.326 titik api).
Indikator lainnya adalah luas area yang terbakar, dari 2,6 juta ha pada tahun 2015, menjadi 128 ribu ha di tahun 2017. Artinya luas area Karhutla berkurang hingga 95 persen.
Menteri Siti Nurbaya mengungkapkan, di dalam area seluas 2,6 juta hektar yang terbakar pada tahun 2015, terdapat sekitar 900 ribu ha kawasan hutan gambut. Di tahun 2016, terjadi penurunan drastis lahan gambut yang terbakar, menjadi hanya sekitar 67 ribu ha atau berkurang hingga 93 persen. Hingga 17 November 2017, lahan gambut di Indonesia yang terbakar, hanya sekitar 10 ribu hektare atau telah berkurang hingga 99 persen dibanding tahun 2015.
Penegakan hukum menjadi salah satu instrumen penting yang dilakukan pemerintahan Jokowi, untuk menjaga lingkungan. Pertama kali diberikan sanksi tegas pada korporasi. Baik melalui perdata, maupun pidana.
Berdasarkan data Ditjen Penegakan hukum KLHK, sepanjang tahun 2015-2017 telah dilakukan 1.444 pengawasan izin lingkungan. Adapun sanksi administratif di periode yang sama, telah dilakukan sebanyak 353 kali. Meliputi tiga sanksi pencabutan izin, 21 sanksi pembekuan izin, 191 sanksi paksaan pemerintantah, 23 sanksi teguran tertulis, dan 115 sanksi berupa surat peringatan.
Adapun total putusan pengadilan yang sudah dinyatakan inkracht untuk ganti kerugian dan pemulihan (perdata), mencapai Rp17,82 Triliun. Sedangkan untuk nilai pengganti kerugian lingkungan di luar pengadilan (PNBP) senilai Rp36,59 miliar. Angka ini menjadi yang terbesar dalam sejarah penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia.
Dengan berbagai upaya ini, Indonesia tercatat berhasil menghindari bencana Karhutla dan asap di tahun 2016 dan 2017, setelah sebelumnya rutin terjadi selama puluhan tahun.
''Agenda restorasi di Indonesia didorong oleh sains dan karena ini adalah upaya global terbesar untuk memulihkan gambut tropis, maka ini akan menghasilkan wawasan dan paradigma baru dalam hal pengelolaan lahan gambut tropis,'' tegas Menteri Siti. (*)
Penanggung jawab berita:
Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Djati Witjaksono Hadi – 081375633330