Sat, 19 November 2016
SIARAN PERS
Nomor : SP. 130 /HUMAS/PP/HMS.3/11/2016
Blue Carbon Indonesia - Potensi Besar yang Belum Tergarap
Marakesh, Maroko, Biro Humas KLHK, 18 November 2016: Para pemimpin dunia menyepakati COP 22 membahas implementasi Persetujuan Paris sebelum dan pasca 2020. Salah satu jalur yang akan ditempuh dalam penurunan emisi dan adaptasi atas dampak perubahan iklim adalah melalui pertimbangan fungsi ekosistem laut dan mangrove. Dalam kerangka perubahan iklim ada tiga ekosistem yang mendapat perhatian yaitu mangrove, padang lamun dan kawasan payau. Dr. Achmad Poernomo, Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Perubahan Iklim menyatakan Indonesia memiliki potensi mangrove seluas 3,11 juta ha dan padang lamun seluas 3 juta ha.
Pada COP22 ini, Blue Carbon Partnership mengadakan diskusi konstruktif untuk mengarusutamakan peranan blue carbon kedalam upaya mitigasi dan adaptasi. Pemerintah Australia yang saat ini menjadi ketua kemitraan mengundang Dr. Nur Masripatin untuk memaparkan keterkaitan blue carbon dan NDC Indonesia. Pada kesempatan tersebut, Dr. Nur menyampaikan, “Indonesia masuk dalam anggota kemitraan ini karena telah memiliki praktek-praktek konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan untuk wilayah pesisir dan laut di berbagai daerah. Disamping itu sebagai negara yang memiliki pantai terpanjang kedua di dunia, maka kita perlu melihat bahwa kemitraan ini memiliki nilai strategis. Peranan ekosistem pesisir dan laut dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang pertama, menyataka bahwa Indonesia telah mengintegrasikan bentuk mitigasi dari sektor lahan”. Nur Masripatin melanjutkan baha hal tersebut memang belum dinyatakan secara kuantitatif karena masih banyak hal teknis yang harus digarap. Ia menyebutkan bahwa setelah melalui perhitungan komprenshif dengan angka kuantitatif yang didapat akan dimasukkan secara bertahap pada NDC mendatang.
Dr Nur Masripatin selaku Ketua Tim Negosiator Delegasi Indonesia menyatakan bahwa peranan ekosistem pesisir dan laut telah diakui baik di dalam konvensi maupun Perjanjian Paris pada tahun yang lalu. Peranan ekosistem hutan telah dibahas sejak COP11 di Montreal tahun 2005 dan diputuskan pada COP13 di Bali tahun 2007, sehingga dalam NDC yang pertama, sektor lahan di Indonesia turut “membungkus” peranan ekosistem daratan, yang didalamnya termasuk ekosistem mangrove dan pesisir pantai. Bagi Indonesia, menurut Nur, blue carbon sangat berpotensi dalam mendukung program nasional penurunan emisi, ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan, namun kompleksitas pengelolaan dan kapasitas pelaksanaannya masih memerlukan peningkatan dalam kajian untuk masa-masa mendatang.
Dr. Achmad Poernomo dalam presentasinya di Pavilliun Indonesia menyatakan, “Dalam pengelolaan yang berkelanjutan masih diperlukan adanya koordinasi antar kementerian dan pemangku kepentingan lainnya. Kita sudah memiliki roadmap penelitian ekosistem pesisir dan laut dalam kerangka pengendalian perubahan iklim, namun belum sampai pada implementasi dari hasil-hasil penelitian tersebut. Masih terdapat kesenjangan komunikasi antara pemegang kebijakan dan para peneliti, sehingga diperlukan komunikasi yang lebih intensif untuk dapat bersama-sama menyusun ‘roadmap blue carbon’ Indonesia”. Achmad Poernomo juga mengatakan bahwa di Indonesia, sudah banyak program-program penyadaran perubahan iklim yang dilaksanakan di tingkat masyarakat, termasuk Desa Tangguh Iklim dan Sekolah Lapang Pesisir.
Pada kesempatan ini, Nur Masripatin juga menjelaskan, karena Indonesia telah memiliki NDC, maka “roadmap” tersebut sebaiknya ada dalam kerangka NDC, serta program penyadaran masyarakat di tingkat desa juga dapat digabungkan dengan program berbasis desa lainnya.
***
Penanggung jawab berita:
Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Novrizal Tahar – 0818432387
Informasi selengkapnya di:
www.ppid.menlhk.go.id
Twitter: @KementerianLHK
Facebook: Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan