Thu, 17 November 2016
Nomor : SP. 126 /HUMAS/PP/HMS.3/11/2016
Keputusan 1 / CP 19 ayat 4 (f), Mendesak masing-masing pihak negara berkembang yang telah mengkomunikasikan aksi mitigasi nasional yang dilakukan, dan yang sesuai, mempertimbangkan tindakan lebih lanjut yang akan diambil dalam konteks-konteks pembangunan berkelanjutan, didukung dan dimungkinkan oleh teknologi, keuangan dan peningkatan kapasitas.
Berkaitan dengan target mitigasi pada tahun 2020, Para Pihak pada Protokol Kyoto harus melaksanakan komitmen mereka di bawah Protokol Kyoto termasuk meratifikasi Amandemen Doha . Pihak negara maju lainnya dan pihak negara berkembang harus menerapkan paragraf yang relevan di bawah Rencana Aksi Bali.
Sebagai bagian dari pihak negara berkembang, Indonesia telah secara sukarela berkomitmen pada aksi mitigasi melalui beberapa kebijakan intervensi seperti REDD+ dalam sektor kehutanan dan Rencana Aksi Nasional dalam Mengurangi Emisi GRK (yang dikenal dengan RAN-GRK) dengan secara sukarela menetapka target untuk mengurangi emisi sebesar 26% dibandingkan yang ditetapkan di Bali pada tahun 2020 sebesar 2.95GTon CO2 eqivalen dari seluruh kategori sektor.
Ada juga beberapa aksi mitigasi, yang diusung oleh pemerintah daerah, pihak swasta dan komunitas. BAPPENAS melaporkan bahwa untuk periode 2007 – 2014 Indonesia telah menghabiskan senilai USD 17.48 miliyar untuk adaptasi perubahan iklim, mitigasi dan aktivitas pendukung. Indonesia akan terus melanjutkan untuk mengalokasikan dana untuk mengimplementasikan rencana aksi perubahan iklim, termasuk alokasi dana sebagai bagian dari APBN sebesar USD 55.01 miliyar untuk periode 2015-2019.
Langkah secepatnya yang perlu dilakukan secara domestik yang perlu dilakukan untuk mencapai target dan menutupi kesenjangan antara janji global melalui INDC/NDC dengan pengurangan emisi dibutuhkan utuk mencegah kenaikan suhu bumi tetap dibawah 2 derajat Celcius, dan pihak-pihak negara berkembang perlu hadir sebagai pemimpin.
Indonesia telah menancapkan target yang lebih ambisius lagi untuk periode 2020-2030 dengan target pengurangan emisi dari 29%-41% dari yang telah ditargetkan di Bali pada 2030 sebesar 2.87 GTon CO2 eqivalen oleh seluruh sektor.
Dalam sektor energi, pengembangan energi bersih telah menjadi arah kebijakan nasional selama beberapa tahun. Kebijakan tersebut pada akhirnya akan menempatka Indonesia pada jejak pengurangan karbon. Pemerintah telah menetapkan target yang ambisius untuk mengubah pasukan bauran energi primer pada 2025 dan 2050, dengan membaginya pada penggunaan energi baru dan terbarukan minimal 23% di 2025 dan paling sedikit 31% di 2050 dan penggunaan batubara minimal 30% di tahun 2025 dan minimal 25% pada 2050 lewat teknologi batu bara yang lebih bersih.
Melalui REDD+ Indonesia memiliki potensi untuk mengurangi emisi sekitar 0,8 GTon CO2 eqivalen per tahun hingga 2020. Indonesia saat ini tengah melakukan finalisasi instrumen pendanaan untuk REDD+ sebagai bagia dari Regulasi Pemerintah dalam Pendanaan Lingkungan, dimana perubahan iklim menjadi salah satu jendela “Pendanaan Lingkungan”. Lebih lanjut, dibalik 2020, seperti yang digambarkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC), REDD+ akan menjadi bagian penting dari NDC.
Untuk mengidentifikasi, mencatat dan mengulas perkembangan serta hasil dari aksi mitigasi dan dukungan, juga untuk menyediakan data dan informasi bagi pengabil keputusan dan publik, Indonesia telah membuat Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRNPPI).
Target ambisius dari NDC Indonesa akan bergantung pada tanah dan sektor energi, yang merupakan sektor-sektor yang diharapkan untuk berkontribusi secara signifikan bagi target pertumbuhan nasional.
NDC Indonesia juga menekankan pada kebutuhan akan strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang lebih komprehensif, dihubungkan dengan kondisi geografis dan posisi kepulauan Indonesia yang unik.
Beberapa mekanisme kerjasama yang telah dilakukan, dibawah peraturan yang ditata secara berbeda oleh institusi pendanaan (seperti FCPF Carbon Fund, FIB, Bio-Carbon Fund), pasar karbon) atau perjanjian dibawah perjanjian yang berbeda seperti ICAO dan bimbingan mekanisme yang terbatas oleh Konvensi dan Kyoto Protocol (REDD+, mekanisme yang flexible dibawah Kyoto Protocol dan fasilitas Nationally Appropriate Mitigation Actions/ NAMAs). Konvensi dan badan-badannya harus mengawasi / memandu pelaksanaan mekanisme yang dikembangkan di bawah konvensi dan mekanisme yang ada di luar konvensi harus koheren dengan yang di bawah Konvensi / Protokol / perjanjian.