Thu, 19 July 2018
Pushumas, Jakarta: Kebijakan Kementerian Kehutanan mengembangkan
pengelolaan hutan berbasis masyarakat berbentuk Hutan Kemasyarakatan
(HKm) dan Hutan Desa (HD) terbukti mampu mengakomodasi kearifan lokal
dalam pelestarian hutan sekaligus menjawab tuntutan pembukaan lapangan
kerja, peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah
Daerah diharapkan lebih banyak berperan dalam melaksanakan kegiatan ini.
Hal itu dikemukakan Direktur Bina Perhutanan
Sosial Kementerian Kehutanan Haryadi Himawan pada pesentasinya yang
digelar di Kementerian Kehutanan Jakarta, Selasa 22 Mei 2012, dalam
rangka dialog dua mingguan yang diselenggarakan Pusat Humas Kemenhut.
Pada dialog yang dipandu Staf Ahli Menteri
Kehutanan Prof. San Afri Awang, Haryadi menyampaikan hasil penelitian
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2010 yang membuktikan
dampak positif Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa. Hutan
Kemasyarakatan dan Hutan Desa sejalan dengan program pemerintah untuk
meningkatkan pendapatan rakyat (pro poor), menciptakan lapangan kerja
(pro job), dan menumbuhkan investasi industri berbasis kayu rakyat (pro
growth), serta mampu mempercepat rehabilitasi lahan kritis dan perbaikan
mutu lingkungan (pro environtment).
Haryadi menegaskan, kegiatan Hutan
Kemasyarakatan dan Hutan Desa ini merupakan program dan kebijakan
pemerintah untuk membuka akses dan peluang kepada masyarakat untuk
mencari nafkah sekaligus melestarikan hutan. Jadi HKm dan HD ini bukan
sebagai proyek.
Ditegaskan pula bahwa dalam proses perizinan
Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa, peran kepala daerah memang krusial.
Mereka dilimpahkan kewenangan oleh Menteri Kehutanan untuk menerbitkan
izin HKm dan Hutan Desa pada areal yang sebelumnya sudah dicadangkan
Menteri Kehutanan. Untuk itu peran aktif pemerintah daerah sangat
diperlukan dalam mewujudkan pembangunan Hutan Kemasyarakatan dan Hutan
Desa. “Jadi kepedulian kepala daerah terhadap pelaksanaan HKm dan HD
sangat dibutuhkan,” ujar Haryadi.
Haryadi menambahkan bahwa sejumlah daerah yang memberi dukungan
sangat baik diantaranya adalah Sumatera Barat, Lampung, Sulawesi Selatan
dan NTT yang akan naik peringkat dari cukup baik ke peringkat sangat
baik. Sedangkan Propinsi Maluku dan Bangka Belitung sama sekali belum
merespon kegiatan ini.
Haryadi mengatakan, HKm dan Hutan Desa merupakan
program yang dirancang untuk meningkatkan kemandirian masyarakat
setempat dengan pengembangan kapasitas dan pemberian akses untuk
mengelola hutan. Oleh sebab itu dibutuhkan dukungan dari semua pihak
agar program tersebut bisa berjalan dengan baik.
Skema pengelolaan HKm dan HD selain dapat
meningkatkan taraf ekonomi rakyat juga diharapkan bisa meningkatkan
kualitas lingkungan secara signifikan. Sebagai contoh pelaksanaan HKm
di Menanga Jaya, Way Kanan, Lampung. Pengelolaan HKm di daerah tersebut
dilakukan oleh 679 orang pada hutan seluas 1.003 hektare. Pada awalnya,
vegetasi yang ada didominasi oleh tanaman kopi. Lewat pengelolaan HKm,
vegetasi secara perlahan berubah menjadi tanaman karet yang memberikan
dampak ekologis yang lebih baik.
“Pendapatan masyarakat pun meningkat, dari
awalnya yang mengandalkan kopi sebesar Rp15 juta per tahun menjadi Rp 78
juta per tahun dengan vegetasi yang kini didominasi karet,” kata
Haryadi.
Situasi tersebut seharusnya layak mendapat dukungan yang lebih
kuat dari pemerintah daerah. mengingat luas izin usaha pemanfaatan Hkm
secara nasional baru mencapai 46.435 hektare dari yang sudah ditetapkan
oleh menteri kehutanan yakni seluas 186.931 hektare. Sementara untuk
izin Hutan Desa, dari 83.401 hektare hutan yang sudah ditetapkan areal
kerja oleh Menteri Kehutanan, baru 15.611 hektare saja yang
direalisasikan oleh Pemerintah Daerah Pemda.
Dukungan pemerintah daerah baik bupati, walikota
dan gubernur mutlak dibutuhkan mengingat untuk dapat memanfaatkan
kawasan hutan melalui skema Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa
dibutuhkan legalitas yang ditetapkan oleh ketiga kepala daerah tersebut.
(rd)