Thu, 07 June 2018
Nomor : SP. 303/HUMAS/PP/HMS.3/06/2018
Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kamis, 7 Juni 2018.
Di Indonesia, selama 11 tahun terakhir, 167 orang meninggal karena flu burung, dari 199 orang yang tertular virus H5N1, di 15 provinsi dan 58 Kabupaten/Kota. Sementara di India, sampai akhir Mei 2018 sedikitnya 13 orang meninggal dunia di Negara Bagian Kerala, akibat terinfeksi virus Nipah.
Seperti halnya virus flu burung yang ditularkan oleh hewan (zoonosis) - khususnya unggas -, virus Nipah yang pertama kali diidentifikasi pada tahun 1999 pasca wabah di Malaysia dan Singapura, ditularkan oleh kelelawar, babi atau hewan lain ke manusia.
Virus ini memiliki tingkat kematian hingga 70 persen dan dapat menyebabkan ensefalitis, atau peradangan otak, serta gangguan serius pada sistem pernafasan. Kedua zoonosis ini, Flu Burung dan virus Nipah, termasuk penyakit infeksi emerging (PIE), atau penyakit yang sebelumnya tidak ditemukan pada manusia, atau sudah lama tak ditemukan kemudian muncul kembali.
Penyakit infeksi emerging yang pernah mewabah di dunia antara lain dan memiliki tingkat kematian yang tinggi adalah: Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada tahun 2003, diikuti oleh Avian Influenza atau flu burung pada 2004-2005 (440 kematian), Middle East Respiratory Syndrome-Corona Virus (787 kematian) di tahun 2012, Ebola pada tahun 2014-2016 (11.310 kematian), dan Zika di penghujung 2015.
“Kesehatan lingkungan berpengaruh pada kesehatan manusia dan hewan khususnya satwa liar. Data WHO menyebutkan setiap tahun lebih dari 12 juta orang meninggal di seluruh dunia karena lingkungan yang tidak sehat,” terang Indra Eksploitasia, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian LIngkungan Hidup dan Kehutanan.
Berada di posisi ke dua sebagai negara dengan kekayaan hayati dan keanekaragaman jenis fauna di dunia, Indonesia rentan terhadap ancaman zoonosis. Interaksi antara manusia, hewan dan lingkungan hidup menjadi salah satu faktor munculnya PIE di Indonesia.
“Salah satu kondisi yang meningkatkan risiko munculnya penyakit zoonosis adalah alih fungsi lahan hutan menjadi pemukiman atau perkebunan. Hal ini akan mengakibatkan interaksi antara satwa liar dengan manusia serta ternak akan semakin tinggi sedangkan menurut penelitian menyatakan bahwa reservoir penyakit zoonosis paling tinggi ada di satwa liar seperti burung migran, kelelawar, monyet ekor panjang dan tikus,” Hal ini dituturkan oleh Kasubdit Keamanan Hayati Dit KKH Ditjen KSDAE KLHK, Lu’lu Agustina.
Lu'lu menambahkan bahwa perilaku manusia dan faktor demografi juga dapat mempengaruhi epidemiologi zoonosis yang berasal dari satwa liar. “Berburu dan mengkonsumsi daging satwa liar dapat meningkatkan risiko tertular penyakit zoonosis,” imbuhnya.
KERJA SAMA DENGAN USAID UNTUK PENDEKATAN ONE HEALTH
Untuk meningkatkan kapasitas Pemerintah Indonesia dalam mencegah dan mengurangi dampak penyakit infeksi emerging (PIE) dan zoonosis, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (KEMENKO PMK), Kementerian Kesehatan (KEMENKES), Kementerian Pertanian (KEMENTAN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KEMENLHK) bekerja sama dengan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) melalui program Emerging Pandemic Threats (EPT)2, menerapkan pendekatan One Health.
Pendekatan One Health merupakan upaya terintegrasi dari lintas disiplin ilmu dan institusi, dilaksanakan baik di tingkat lokal, nasional, maupun global, untuk mencapai kesehatan yang optimal bagi masyarakat, hewan dan lingkungannya. One Health mengakui bahwa kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan hidup saling terkait.
Program EPT2 menerapkan pendekatan One Health melalui kegiatan peningkatan kapasitas, penguatan sistem surveilans, riset, penerapan panduan koordinasi lintas sektor, dan penanganan kasus bersama.
Sampai pertengahan 2018, Pemerintah Indonesia telah memiliki 32 modul kurikulum pendekatan One Health untuk PIE dan zoonosis, panduan koordinasi lintas sektor dalam menghadapi kejadian luar biasa (KLB), wabah zoonosis dan PIE dengan pendekatan One Health, 74 pelatih utama dan 267 petugas lapangan terlatih.
BOYOLALI, KISAH SUKSES ONE HEALTH
Pemerintah Kabupaten Boyolali menerapkan pendekatan One Health untuk menangani 22 kasus dugaan rabies yang disebabkan gigitan anjing dan monyet ekor Panjang (Macaca Fascicularis) pada Januari-Oktober 2017.
Komunikasi dan koordinasi lintas sektor dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jawa Tengah bersama Dinas Kesehatan serta Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali berhasil menanggulangi kasus ini.
Khusus sektor lingkungan hidup, KEMENLHK telah memperkuat sistem surveilans dengan meluncurkan sehatsatli (http://sehatsatli.menlhk.go.id).
Sehatsatli adalah satu sistem informasi pelaporan kejadian pada satwa liar berbasis web. Sistem ini menjadi langkah awal investigasi pada dugaan kasus penyakit zoonosis yang bersumber dari satwa liar. Upaya mencegah dan mengurangi risiko penyakit infeksi emerging dan zoonosis adalah tanggung jawab semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat.
“Kita bisa berpartisipasi untuk mencegah dan mengurangi risiko penyakit infeksi emerging dan zoonosis salah satunya dengan menjaga lingkungan hidup,” terang Kasubdit Keamanan Hayati Kementerian LHK.
Menurut Lu’lu, pengunaan lahan sesuai peruntukannya, reboisasi hutan, konservasi dan upaya perlindungan terhadap kekayaan flora dan fauna termasuk menghentikan perburuan dan perdagangan hewan hidup adalah langkah untuk mencegah munculnya penyakit infeksi emerging dan zoonosis di Indonesia.
Jonathan Ross, Direktur Kantor Kesehatan USAID Indonesia menyebutkan bahwa berbagai faktor seperti peningkatan populasi masyarakat, perubahan habitat tempat tinggal hewan, meningkatnya pertumbuhan ekonomi, ketahanan pangan dan globalisasi, menjadikan Indonesia rentan terhadap PIE.
“Untuk mencegah dan mengendalikan Penyakit Infeksi Emerging atau PIE, diperlukan kerjasama dari pemangku kepentingan multisektor” kata Jonathan. “Keberhasilan di Boyolali adalah bukti nyata bahwa kerjasama multisektor berperan penting dalam pencegahan PIE. Amerika Serikat bangga bisa bermitra dengan Indonesia dalam hal ini”, tambahnya.
Program USAID EPT2 adalah kolaborasi antara pemerintah Indonesia dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO), Badan PBB untuk Pangan dan Pertanian (UNFAO), PREDICT-2 (dipimpin oleh Institut Pertanian Bogor dan Lembaga Eijkman), Preparedness and Response, One Health Workforce (dipimpin oleh jaringan universitas One Health di Indonesia atau INDOHUN), Palang Merah Indonesia (PMI) dan The International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) untuk mencegah, mendeteksi serta merespon PIE dan zoonosis.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi:
1. Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Djati Witjaksono Hadi – 081375633330
2. Outreach and Communication Specialist USAID Indonesia
Swiny Andina - 08118080084
3. Paulus Enggal, EPT-2 Communication and Partner Enggagement officer, FAO Indonesia- 0811-2504-629