Fri, 14 July 2017
SIARAN PERS
Nomor : SP. 136 /HUMAS/PP/HMS.3/07/2017
Jakarta, Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jum’at, 14 Juli 2017. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya bertemu Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), untuk mendapatkan masukan terkait Pengesahan Konvensi Minamata mengenai Merkuri.
Konvensi Minamata bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari emisi dan lepasan merkuri, dan senyawanya dari sumber anthropogenik. Konvensi ini disepakati pada pertemuan Intergovernmental Negotiating Committee (INC) ke-5 di Swiss dan ditandatangani 10 Oktober 2013 di Kumamoto, Jepang.
Pertemuan COP I Konvensi Minamata akan diselenggarakan tanggal 24 – 29 September 2017 di Jenewa. Sebelumnya, sebanyak 50 negara telah masuk (depository) kepada Sekretariat Jenderal PBB pada tanggal 18 Mei, sehingga 90 hari kemudian yaitu 16 Agustus 2017, Konvensi Minamata berlaku (entry into force), dan sampai saat ini 70 negara telah meratifikasi Konvensi Minamata. Indonesia diharapkan dapat berperan dalam COP I Konvensi Minamata, karena COP I akan mengadopsi mekanisme yang mengikat para Pihak, sehingga Indonesia perlu meratifikasi konvensi tersebut dalam waktu dekat.
Dalam pertemuan dengan Komisi VII tersebut di Jakarta (14/04/2017), Siti Nurbaya menyatakan bahwa “Selain meratifikasi konvensi, bahaya merkuri memang telah nyata dari segi kerusakan lingkungan dan akibat terhadap kehidupan manusia”.
Merkuri menjadi perhatian global sejak pencemaran merkuri oleh perusahaan Chisso Minamata Factory (CMF) yang membuang limbah metilmerkuri ke Teluk Minamata, Jepang. Selama 12 tahun (1956-1968) limbah dibuang sebanyak 80 – 150 ton, sehingga menyebabkan sistem syaraf dan menghambat tumbuh kembang balita dan orang dewasa.
Di Indonesia, penambangan emas rakyat dengan menggunakan merkuri di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, telah menghilangkan mata pencaharian petani dan nelayan, menimbulkan konflik sosial dan kematian penambang akibat kecelakaan kerja.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Satya Yudha, juga sepakat akan upaya penguatan kebijakan untuk perlindungan masyarakat dari bahaya merkuri. “Ratifikasi ini merupakan kesempatan kita untuk melindungi masyarakat dari akibat yang ditimbulkan oleh merkuri”, ungkapnya.
Sebelumnya, Indonesia telah menerbitkan dua Peraturan Pemerintah (PP) terkait merkuri. Pertama, PP nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Beracun Berbahaya (B3), yang menyatakan bahwa merkuri termasuk kategori jenis B3 dan terbatas penggunaannya. Kedua, PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 menyebutkan bahwa limbah yang mengandung merkuri wajib dikelola.
Untuk penguatan kebijakan tersebut menjadi Undang-Undang, Kementerian LHK melaksanakan Pertemuan Antar Kementerian (PAK), Harmonisasi dengan Kementerian/Lembaga, dan permohonan Amanat Presiden (Ampres). Selanjutnya mengikuti mekanisme DPR-RI menuju Persetujuan RUU Paripurna DPR-RI dan Pengesahan oleh Presiden RI.
“Kita akan mengkaji dan melakukan konsultasi publik untuk penyempurnaan dan penguatan materi, sistematika justifikasi dan argumentasi, penekanan, data dan inventarisasi kasus, antisipasi atas hal yang ditimbulkan, dan pentahapan Ratifikasi RUU Konvensi Minamata” ungkap Siti menutup pertemuan tersebut.
Penanggung jawab berita:
Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Djati Witjaksono Hadi – 081375633330