Musuh Bersama adalah Ancaman Perubahan Iklim bukan antar Negara

Thu, 19 July 2018

Biro Humas Kemen LHK, Paris : Ketua Plt Delegasi Indonesia di COP21 Paris Nur Masripatin, yang juga Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menyampaikan bahwa seluruh negara sepakat bahwa harus menyelamatkan bumi dengan mencegah kenaikan suhu bumi tidak melebihi 2 derajat celsius namun permasalahannya adalah menerjemahkan konsepsi diferensiasinya. Utusan Khusus Presiden bidang Pengendalian Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar menegaskan bahwa musuh bersama dari semua negara adalah dampak perubahan iklim, oleh karenanya harus ada pemikiran out of the box yang tidak business as usual untuk mencapai kesepahaman bersama yang konstruktif demi tercapainya kesepakatan global. Hal tersebut disampaikan dalam media briefing proses negosiasi COP 21 Paris, Sabtu (5/12) di Sekretariat Delegasi RI (Delri) di COP 21 Paris, Perancis.

Hadir dalam menyampaikan pemaparan Emma Rachmawati (Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK), Sri Tantri A (Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK), Kirsfianti Ginoga (Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MRV KLHK).

Rachmat menambahkan bahwa kesenjangan antara kepala negara dan para negosiatornya dikarenakan bahwa beberapa negara diwakili oleh negosiator professional sehingga tidak mencerminkan kepentingan nasional negaranya. Hal ini berbeda dengan Delegasi Indonesia yang sepenuhnya berjiwa nasionalisme yang berjuang untuk kepentingan bangsa dan dunia. Proses negosiasi berjalan cukup mengkhawatirkan dan ditakutkan akan digiring kepada proses deal making atau tukar menukar kepentingan. Negara maju kembali bertendensi mengingkari komitmen sebelumnya, salah satunya adalah dalam hal pendanaan. Posisi negara berkembang bukan meminta untuk pendanaan tapi menagih janji atau komitmen negara maju.

Contoh lainnya adalah dalam hal transfer teknologi yang menurut Nur Masripatin tidak seutuhnya benar-benar terjadi dengan selalu alasannya adalah hak kekayaan intelektual. Dalam hal ini, Indonesia tidak terlalu mengkhawatirkan karena dapat mengembangkannya sendiri, namun sesama negara berkembang, Indonesia tetap berjuang untuk dicapainya kesepakatan dalam hal transfer teknologi ini.

Hingga pekan pertama proses sidang-sidang di COP21 masih berjalan alot di semua bagian terutama sehubungan isu diferensial atau pembedaan perlakuan antara negara maju dan berkembang. Pada sidang bagian Mitigasi, proses perundingan masih belum mencapai titik temu mengenai sistem akunting untuk upaya mitigasi antara negara maju dan negara berkembang. Negara maju menginginkan ada sistem akunting yang satu dan sama untuk semua negara. Sedangkan negara berkembang menginginkan ada pembedaan karena harus ada capacity building untuk penerapan sistem akunting. Selain itu yang krusial adalah bahwa negara maju ingin semua negara memiliki kewajiban mitigasi sedangkan negara berkembang ingin hanya pihak negara maju yang memiliki kewajiban itu.

Hal sama juga terjadi pada sidang tema adaptasi dan capacity building. Negara maju menginginkan dukungan untuk capacity building diterapkan pada semua negara, sedangkan negara berkembang ingin tidak pada semua negara tapi fokus pada negara berkembang. 

Pada isu adaptasi, terdapat perbedaan antara negara maju dan berkembang, dimana negara maju konteksnya dibuat umum sedangkan negara berkembang menginginkan detail dan spesifik. Sedangkan di bagian loss and damage, negara berkembang menginginkan adanya kompensasi dari negara maju terhadap negara berkembang atas dampak perubahan iklim.

Penanggungjawab berita dan kontak:

1. Menteri LHK, Siti Nurbaya, +628121116061
2. Utusan Khusus Presiden Untuk Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar +6281282845494
3. Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim, Nur Masripatin, +628121970235
4. Staf Ahli Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam, Agus Justianto, +628129199192

Melayani hak anda untuk tahu