Wed, 15 November 2017
SIARAN PERS
Nomor : SP. 350 /HUMAS/PP/HMS.3/11/2017
Bonn-Jerman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu, 15 November 2017. Perhutanan Sosial merupakan salah satu terobosan Indonesia dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan ketahanan pangan.
Melalui program ini, masyarakat sekitar hutan yang miskin dan rawan pangan, mempunyai peluang untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui pemanfaatan sumber daya hutan yang lestari. Demikian gambaran umum yang disampaikan Menteri LHK, Siti Nurbaya, saat menghadiri High Level Roundtables for Climate Actions for Zero Hunger (SDG2) COP 23 UNFCCC.
“Secara total, Pemerintah Indonesia memberikan pengelolaan dan hak akses kepada masyarakat lokal. Sekitar 12,7 juta hektar lahan hutan dalam berbagai kategori, seperti lahan hutan yang terdegradasi sampai yang dihuni oleh penduduk asli setempat. Semua menggunakan hutan sebagai penghidupan mereka. Inti Perhutanan Sosial adalah memberikan akses bagi orang untuk bekerja secara legal di lahan hutan negara. Namun tidak untuk kepemilikan tanah”, ungkap Siti Nurbaya.
Dituturkan Siti, meningkatnya kebutuhan pangan di Indonesia dan tekanan terhadap sumber daya hutan, merupakan tantangan bagi Pemerintah Indonesia untuk menyusun strategi pembangunan dalam mengelola sumber daya hutan dan lahan secara berkelanjutan. Sekaligus mencapai tujuan pembangunan negara.
Selain itu, Siti juga menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia memiliki program reforma agraria seluas 9 juta hektar, terdiri dari 3,9 juta hektar sertifikasi lahan masyarakat, 0,6 juta hektar sertifikasi lahan transmigrasi, dan 4,5 juta hektar sebagai redistribusi lahan, lokasi transmigrasi, serta lahan hutan yang terdegradasi.
Program Kehutanan Sosial memberikan akses yang lebih besar terhadap sumber daya hutan oleh masyarakat setempat. Melalui program ini, masyarakat dapat memperoleh manfaat langsung berupa hasil hutan, dan manfaat tidak langsung sebagai sistem mata pencaharian (agroforestry, agro-sylvopasture, dan agro-silvo-fishery).
“Dalam implementasinya, Kementerian LHK bekerjasama Kementerian Pertanian, kemitraan perusahaan atau unit koperasi, dengan model PAJALE (padi sawah, jagung dan kedelai serta perkebunan tebu dan peternakan), dan lokus kegiatan berada di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)”, lanjut Siti Nurbaya.
Tidak kalah penting, Siti menginformasikan bahwa Indonesia memiliki aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim berupa Progran Kampung Iklim (Proklim), yang mengintroduksi budaya hidup ramah lingkungan kepada masyarakat desa, sehingga dihasilkan emisi yang rendah. Program pengembangan ramah lingkungan ini antara lain berupa, taman bio-pharmacy, pertanian organik perkotaan terpadu, penggunaan biogas, fasilitas pengolahan limbah masyarakat, dan skema mikrohidro.
“Dalam beberapa menit ini, semoga saya bisa menunjukkan kepada Anda bahwa di Indonesia, pengelolaan hutan lestari TIDAK hanya jargon, tapi juga kenyataan yang dapat diimplementasikan untuk kepentingan masyarakat dalam menghadapi banyak tantangan, termasuk tantangan terkait dengan perubahan iklim”, tegas Siti Nurbaya menutup paparannya.
Antusiasme ini disambut baik oleh Direktur Jenderal UN-FAO, Jose Graziano da Silva, yang menyatakan bahwa sudah saatnya para negara melakukan aksi nyata bersama dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global. Selain Menteri LHK Siti Nurbaya, turut hadir sebagai narasumber, dalam pertemuan yang mengambil tema “Climate, Food and Livelihoods – Indonesia’s Challenges” ini, yaitu Menteri Perikanan Negara Republik Fiji, Semi Koroilavesau, dan Perdana Menteri Negara Tuvalu, Enele Sopoaga.(*).
Penanggung jawab berita:
Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Djati Witjaksono Hadi – 081375633330